Seperti yang Engkau Mau


Jari lentik Bianka mengetuk-ngetuk mug yang dipegangnya dengan berirama. Matanya terpejam menikmati lagu-lagu secondhand serenade yang mengalun pelan melalu earphone yang tersumbat di telinganya. Hujan sore hari, segelas susu jahe hangat dan lagu-lagu penenang hati, adalah hal yang paling disukai Bianka.
                Dari kejauahan terlihat bayangan seorang laki-laki membelah hujan. Tangan kirinya membawa sebuah bingkisan dan tangan kanannya membawa payung hitam. Senyum Bianka makin lebar ketika bayangan itu semakin dekat. Tristan.
                “Hallo cantik.” Sapa lelaki itu sambil meletakkan bingkisan yang dibawanya itu di meja. Segera dia memeluk gadis pujaannya itu. Tangannya melepas earphone ditelinga Bianka lalu berbisik, “masih suka duduk di lantai padahal disitu ada kursi?” Bianka tertawa mendengar godaan Tristan.
                “Aku bawakan pai keju kesukaanmu dari Bali.” Tristan lalu membuka bungkusan yang dibawanya tadi.
                “Tapi kamu pasti lupa sesuatu,” Celetuk Bianka setelah melirik bawaan Tristan.
                “Apa? Bukannya kamu hanya pesan pai keju dan kopi khas Bali? Ayolah sayang jangan membuat aku seperti orang tua yang mudah pikun.”
                “Nah, kamu lupa membawa pulang cintamu.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Bianka. Tatapan Bianka terus mengarah ke mata Tristan. Tristan bagai tertohok.
                “Tentu tidak, aku meninggalkan hatiku di Jogja dan aku tidak pernah  lupa membawa apapun tentangmu, tentang cintamu.” Tristan mengalihkan pandangannya ke rintikan hujan. Ada yang aneh dan Bianka sadar itu. Dan layaknya seorang wanita lainnya, dia berusaha untuk positive thinking.
                “Aku akan buatkan susu jahe untuk menghangatkanmu. Tunggu sebentar dan kita akan menikmati pai keju itu bersama.” Bianka meninggalkan secuil kecupan di pipi Tristan sebelum melenggang pergi ke dapur.
                Saat kembali sambil membawa segelas susu jahe, Bianka menemukan Tristan sedang menerima telepon dari seseorang. Entah siapa. Tristan berdiri di depan garasi rumah. Bianka tidak mau mengganggu Tristan yang tampak sibuk dengan teleponnya. Sesekali dia tersenyum malu-malu. Tidak pernah Tristan bertingkah aneh seperti sekarang. Biasanya, Tristan selalu membiarkan Bianka mendengar semua percakapan teleponnya, tidak seperti sekarang. Tidak bertemu 1 bulan saja sudah membuat Tristan terasa asing di mata Bianka.
                Tak lama, Tristan menyadari Bianka sudah menunggunya dengan suguhan senyum yang selalu sama seperti senyuman yang membuatnya jatuh cinta 2 tahun lalu. Cepat-cepat telepon itu diakhiri.
                “Maaf, itu tadi telepon dari rekan kerjaku. Yah, kami baru kenal 2 minggu dan dia sangat menyenangkan. Kau tau? Dia bisa membuat biscuit jahe yang enak.” Oceh Tristan. Matanya berbinar-binar.
                “Aha, orang itu pasti sangat menyenangkan hingga kamu sangat mengidolakannya. Apa dia perempuan?” tanya Bianka hati-hati. Dia mulai diliputi kegelisahan. Tristan tersenyum, tangannya mengelus pipi Bianka lalu berkata,
                “Ya, dia perempuan. Tapi tenanglah, dia tak lebih baik darimu dan cintamu.”

                                                                                                ***
                Matahari masih malu-malu untuk muncul, tapi Bianka sudah sibuk di dapur dengan beraneka macam bahan untuk membuat biscuit jahe. Sejak Tristan bercerita tentang seorang perempuan ahli membuat biscuit jahe, Bianka tidak mau kalah. Dia harus bisa membuat apapun yang disenangi Tristan. Selama ini Bianka tau kalau Tristan pecinta jahe, tapi dia lebih mampu membuat beraneka macam pasta daripada mengolah jahe.
                Beberapa kali tangannya terkena parutan jahe. Rasanya hampir menyerah. Tapi begitu mengingat ketakutannya akan kehilangan Tristan, semangat Bianka tak terkalahkan oleh perih di tangan. Bianka seolah menikmatinya.
                “Bianka? Apa itu kamu?” terdengar suara Kirana, teman satu kontrakan Bianka.
                “Iya, Kirana. Kamu sudah bangun?” tanya Bianka. Tangannya tetap sibuk membuat adonan.
                “Aku haus dan mau ambil minum. Kamu ngapain sih jam segini udah bikin berantakan dapur?”
                “Aku sedang membuat biscuit jahe. Kamu sendiri tau kalau Tristan suka sekali biscuit jahe yang hampir tiap hari kita beli di toko kue. Siapa tau aku bisa membuat yang lebih enak.”
                “Yaampun Bianka. Kamu perhatia banget sih sama Tristan. Aku jadi inget waktu Tristan ulangtahun. Kamu bikini surprise party buat Tristan, padahal waktu itu Tristan lagi di Makasar. Lalu kamu beliin dia sepatu yang harganya mahal banget. Kamu rela…”
                “Stop Kirana. Please… I’ll do everything for my man. Tristan juga selalu kasih yang terbaik buat aku. And I will do the same for him.”
                “Ok. Liat aja kalau Tristan sampai bikin kamu kecewa. Aku bakalan bikin dia jadi berkedel.”
                “Hush, kamu jangan ngomong gitu. Mending kamu sekarang tidur deh. Bawelmu itu lho, Kirana.”
                “Ok,ok. Aku tidur. Tolong sisain kue-kue itu buat aku yaa!”
                                                                                                ***                                           
                Bianka memasukkan kue-kue itu kedalam toples manis dari kaca. Kini dia bersiap menanti kedatangan Tristan.
                “Bianka, ada yang nyariin tuh.” Kirana duduk di hadapan Bianka sambil memasukan tangannya ke dalam toples. Tapi dengan sigap Bianka membawa toples itu berlari ke depan rumah bersamanya.
                “Hai,” sapa Bianka pada sosok tegap yang tampak sibuk dengan handphonenya. Begitu sadar akan kemunculan Bianka, laki-laki itu tergagap segera memasukan handphonenya ke saku.
                “Oh hai cantik.” Tristan mengecup pipi Bianka pelan.
                “Aku belajar membuat biscuit jahe. Kamu harus coba.”
                “Biskuit jahe? Sejak kapan kamu tertarik membuat biscuit? Aku kira kamu hanya bisa membuat pasta.” Tristan segera mencoba sepotong, dan baru sekali kunyahan Tristan langsung terbatuk-batuk dan membuang sisa biscuit yang dimakannya. Dengan sigap Bianka mengulurkan segelas air putih.
                “Ada yang salah dengan biskuitku?”
                “Kamu bertanya ada yang salah? Jelas-jelas aku memuntahkannya, Bianka! Ini adalah makanan olahan jahe paling tidak enak!”
                “Maaf sayang. Kamu tau kalau aku belum pernah membuat kue sebelumnya. Aku minta maaf.”
                “Iya, karena yang kamu tau hanya pasta, pasta dan pasta! Kapan sih kamu mau belajar membuat sesuatu yang aku sukai? Kamu hanya bisa membuat susu jahe! Apa kamu tidak berniat membuat aku bahagia?”
                “Aku sedang belajar, Tristan. Maafkan aku. Aku selalu ingin jadi yang terbaik buatmu.”
                “Alah, terlambat!” Tristan melangkahkan kakinya keluar dari rumah kontraka Bianka dengan handphone di genggamannya sekarang. bianka hanya bisa memandang lelaki itu dengan sedih. Sebegitu parahkah salahnya hingga membuat Tristan kecewa dan marah besar?
                                                                                                ***
      
Aku hanyalah sesosok gadis yang ingin berjalan bersamamu
          Aku ingin kita belajar untuk menerima kekurangan masing-masing
          Aku berusaha untuk tahu apa yang kamu inginkan, dan aku harap kamu juga begitu
          Apa yang membuat semua kini terasa jauh?
          Aku dengan segala kekuranganku
          Atau… atau kamu yang tidak bisa menerima kekuranganku
                                                                                                                                 (Jogja, 28 Oktober)
                Bianka menutup netbooknya pelan. Hatinya sedikit lebih ringan setelah mengungkapkan perasaanya di blog. Apa yang baru saja dialaminya siang tadi memaksa Bianka untuk berfikir seribu kali untuk yakin kembali kalau Tristan itu adalah... hatinya. Jika memang Tristan benar mencintainya, dia tidak akan membentaknya seperti tadi hanya karena masalah biscuit jahe. Lelaki yang baik akan berusaha menghargai apapun yang dihasilkan wanitanya. Lelaki yang baik… akan tidak membiarkan wanita menangis hanya karena sang wanita masih belajar menjadi yang baik.
                Bianka sadar dia tidak bisa terus diam. Wanita tidak sebaiknya hanya sebagai penunggu, wanita adalah sang pemberi keputusan. Dimanakah akan berujung hubungan 2 tahun itu, karena ujungnya hanya akan ada satu diantara 2 pilihan. Pernikahan selamanya atau berhenti ditempat dan mencari yang lebih baik.
                Dengan serampangan, Bianka mengendarai motor maticnya menuju apartemen Tristan. Yang Bianka cari hanyalah ujung dari semuanya. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyelesaikan semua. Bianka ingin tau apa yang membuat Tristan berubah.
                Lebih dari setengah jam Bianka berdiri di depan apartemen Tristan. Berkali-kali menekan bel tidak ada jawaban.
                “Bianka?” seseorang muncul dari balik lift disebelah pintu partemen Tristan. Maryam, tetangga Tristan seorang artis yang sedang naik daun.
                “Hai Maryam. Baru pulang shooting?” sapa Bianka.
                “Ya. Aku lelah sekali. Kamu ngapain di depan apartemen  Tristan selarut ini, dear? Aku tadi sempat berpapasan dengan Tristan di bandara. Tapi sudah sore tadi. Dia sehabis menjemput seseorang, tapi aku tidak kenal. Seorang bule wanita. Rambutnya blonde, cantik. Mungkin Tristan dengan temannya. Atau, saudaranya. Kau kenal saudara Tristan yang seorang bule?”
                Hati Bianka remuk. Dia berusaha menahan tangis di depan Maryam. “Ah, mungkin itu temannya dari Bali. Terimakasih Maryam atas informasinya. Aku pulang dulu.”
                Angin semilir menemai perjalanan Bianka malam itu. Sekuat apapun dia menahan tangis, tetap saja ada airmata yang berhasil kabur dari pelupuk matanya. Setiap kali berhenti di traffic light, Bianka menghapus airmatanya yang berlinang.
                Dari kejauhan, sederet angka di plat mobil yang amat dikenali Bianka terparkir di area alun-alun selatan yang sudah mulai sepi karena di telan larutnya malam. Bianka sering duduk di kursi depan sebelah kiri dari mobil itu. Sesekali tangan Bianka memegang erat tangan sang sopir.
                Khawatir akan keadaan Tristan yang misterius, Bianka berhenti tepat di samping mobil. Bianka takut kalau terjadi sesuatu hal yang tidak baik menimpa Tristan.
                Tapi, ketika Bianka mengintip ke kaca mobil, hatinya yang sudah remuk malah makin hancur. Tristan ada di dalam mobil bersama seorang wanita bule cantik sedang bercumbu mesra di sana. Pelan, Bianka mengetuk kaca mobil dan Tristan tampak kaget melihat kemunculan Bianka.
                “Bianka…” kalimat pertama yang terucap dari bibir Tristan.
                “Terimakasih atas dua tahun yang indah. Ternyata cintaku mati sekarang.” Bianka melepas kalung berliontinkan cincin berukir nama Tristan, lalu diberikannya pada Tristan.
                “Apa maksudmu? Jangan katakan kalau kita harus berakhir!”
                “Apa yang perlu dipertahankan lagi jika salah satu dari kita sedang sibuk mempertahankan orang lain? Ini jawaban atas kesibukanmu dengan handphone 2 hari ini, ini adalah jawaban atas bentakan dan perubahan sikapmu padaku. Apa lagi yang pantas kita jaga? Kepercayaan yang aku titipkan saja kamu tidak mampu membawanya kemanapun kamu bertugas dengan pekerjaanmu. Bali? Berakhir disana kamu membawa cinta dan kepercayaanku.”
                Tristan hanya diam. Kata-kata Bianka sangat menusuk tepat di hati kecilnya. Tristan telah melepas emas hanya untuk sebuah tembaga yang baru dibelinya di Bali.
                “Sepertinya kamu sudah menemukan yang lebih mampu mengolah jahe. Aku ikut senang.”
                “Maafkan aku Bianka, aku lebih mencintaimu. Tolong mengerti…”
                “Aku sudah memaafkan kamu. Aku hanyalah perempuan yang masih belajar dengan jahe dan penggemar jahe. Tolong dicatat, kalau kamu memang benar mencintai aku, kamu tidak akan membiarkan ada orang lain mencium bibirmu.” Meninggalkan sebuah senyuman terbaik yang dimilikinya, Bianka pergi meninggalkan cintanya. Melepaskan apa yang selama ini dijaga dan di banggakannya.
                                                                                                ***
               

Merelakanmu memang tidak semudah aku melepaskan liontin yang sudah 2 tahun ini aku pakai
          Aku merasa gagal menjaga kita
          Tidak sepenuhnya salahmu, ada salahku di dalam kita
          Sadar bahwa tidak perlu saling membenci
          Sadar bahwa semua ini tidak berakhir sia-sia
          Aku memetik hikmah, bahwa cinta saling percaya tidaklah cukup
          Cinta saling menerima, saling mendoakan terbaik meskipun tangan tak lagi saling menggenggam

Komentar

Postingan Populer