El Bottela
Gue enggak tau harus menyebut
tempat yang didirikan Alroy itu sebagai pub atau sebagai tempat nongkrong
biasa. El Bottela tidak hanya menyediakan minuman beralkohol, tapi juga banyak
makanan lezat Spanyol. Tapi, kisah cinta gue berawal dari sana. Dari sudut El
Bottela.
Gue tau, gue bukanlah termasuk
di golongan lelaki baik-baik. Ok, mungkin gue punya pekerjaan bagus dengan gaji
besar, gue punya rumah, mobil, dan semua kekayaan yang diimpikan wanita-wanita
masa kini. Dan banyak yang bilang, gue adalah orang yang good looking. Lalu,
kenapa gue bilang gue bukan laki-laki yang baik? Karena gue mencintai dua
wanita sekaligus.
Awalnya gue cuma punya Mara.
Model dengan postur tubuh dan muka cantik. Selain fisiknya yang benar-benar
anugerah dari Tuhan, sifatnya yang kalem, tenang dan menyenangkan membuat daya
tarik tersendiri buat gue. Gue dan Mara bertemu di El Bottella, saat gue sedang
ketemu Alroy buat ngomongin bisnis, kemudian Mara datang bersama teman-teman
satu profesinya dan duduk manis di meja nomor sembilan sambil menikmati
Tropical Drinks. Gue jatuh cinta dengan caranya menyesap minuman, dari caranya
ketawa, dan juga dari caranya… mengerlingkan mata.
Bukan Krisna namanya kalau
enggak bisa naklukin cewe. Cukup tiga bulan masa pendekatan, gue bisa milikin
Mara. Hingga akhirnya hubungan ini berjalan satu tahun lamanya. Beberapa bulan
terakhir ini Mara jadi sering ngomongin soal ‘nikah’. Iya, Mara emang gadis
sempurna, dan mungkin enggak ada salahnya buat nikahin dia. Tapi ada rasa bosan
yang tiba-tiba muncul dan gangguin otak gue. Mara terlalu baik dan terlalu
nurut sama gue. Dia selalu tersenyum bahagia saat gue beliin dia gaun, entah
itu seleranya atau bukan. Dia selalu mengucapkan selamat pagi, selamat siang,
selamat malam dan jangan lupa makan. Kaya orang pacaran beneran, tapi bukan
seperti Mara yang gue mau. Ibaratnya, Mara adalah gunung yang mudah gue capai,
gak ada tantangan dan ya cuma itu-itu aja.
Jelas berbeda dengan Kikan. Dia bukan
model, dia hanyalah seorang guru TK yang memiliki wajah dan sifat keibuan. Dia tau
dimana bisa menemukan gue saat gue rapuh, dia yang bukan sekedar nanyain “Sayang,
kamu udah mana?” atau “Jangan lupa makan ya, Cinta.”. Kikan adalah wanita yang
rela datang ke kantor gue naik motor matic walau matahari lagi terik-teriknya buat
bawain makan siang, kentang rebus dan rendang. Dia tahu makanan kesukaan gue.
Gue bertemu Kikan, lagi-lagi di
El Bottela. Kikan enggak seperti Mara yang senang menghabiskan waktu buat duduk
dan ngobrol ngalur-ngidul di sebuah tempat makan. Sore itu hujan deras dan
Kikan nampak amat sangat terpaksa masuk ke El Bottela untuk berteduh sementara.
Dari tempat gue duduk saat itu, gue bisa mendengar percakapannya dengan seorang
waiters. Ia meminta segelas teh manis panas, dan itu cukup menjelaskan bahwa
dia enggak ngerti El Bottela.
Kemudian gue menghampiri dia,
gue tanya apa gue boleh gabung. Awalnya dia bingung melihat gue, mungkin dia
kira gue adalah salah satu karyawan MLM yang bakalan ngerayu dia buat gabung. Kemudian
gue pinjami dia sapu tangan biru kesayangan gue buat seenggaknya bisa ngeringin
air hujan di mukanya yang bersih tanpa cacat. Dia cuma senyum dan bilang
terimakasih. Awalnya gue berniat buat traktir makan, gue pesan dua tartaletas
de champiñones buat gue dan Kikan. Dari pai lezat itu, gue jadi tahu kalau
Kikan adalah seorang guru di Taman Bermain Internasional, berusia dua puluh
tiga tahun dan masih single. Begitu gue mau bayar makanan, Kikan lebih dulu
memberikan uangnya ke waiters dan mengatakan kalau itu sebagai ucapan
terimakasih atas sapu tangan gue. Manis bukan?
Setelah perpisahan gue dan
Kikan, gue berniat buat mencari dia di tempat dia mengabdi jadi guru. Namun,
baru selang dua hari dari pertemuan awal di El Bottela, Kikan muncul di ruang
tamu kantor gue. Dia mengembalikan sapu tangan gue dan memberi sekotak kurma
sebagai ucapan terimakasih yang kedua setelah mentraktir gue makan di El
Bottela. Sebagai laki-laki yang pada saat itu masih cukup baik, gue berniat
mengajak Kikan makan siang di sebuah restoran mahal, dan dia menolak. Gue memaksa
dia buat bersedia makan siang bareng, akhirnya dia setuju dengan syarat dia
yang nentuin tempat makannya. Dan lo tahu dia milih makan dimana? Warung bakso
depan kantor gue. Selama tiga tahun kerja, gak sekalipun gue mau makan di sana,
bukan apa-apa tapi gue merasa punya uang dan gue ingin menikmati hidup dengan
makan di tempat makan yang keren dan mahal.
Gara-gara Kikan, gue jadi doyan
makan kurma dan jadi langganan bakso depan kantor. Kikan membuat hidup gue
berwarna. Dia berani mengutarakan apa yang membuat dia enggak sreg, dia enggak
sekedar ngomong, tapi dia juga bertindak. Dia mau masak makanan kesukaan gue,
dia mau buka pintu rumah dia saat gue kelelahan dan butuh semangkuk sup, dia
yang nemenin gue ngelembur kerja, dan Kikan jugalah yang membuat gue merasa…
gue punya rumah untuk pulang.
***
Pikiran gue suntuk. Pekerjaan di
kantor makin enggak ada habisnya walau tiap hari gue udah ngelembur dan
mengurangi jadwal nge-gym. Selain itu, Mara makin rajin ngajakin gue buat
sekedar mampir ke toko perhiasan buat lihat-lihat cincin nikah, atau kalau
enggak di Blackberry Messenger dia sering ngirimin gambar-gambar foto
pre-wedding yang menurut dia keren dan wajib kita tiru kalau kita bakalan
menikah. Otak gue udah cukup penat sama kerjaan, dan Mara menambahnya dengan
sesuatu yang gue belum niat buat menggapai itu.
Sore itu sepulangnya dari kantor, gue
memutuskan buat mampir ke El Bottela. Gue sengaja mematikan handphone biar Mara
enggak gangguin gue lagi dengan cita-citanya menikah. Gue ngerasa butuh minuman
yang membuat gue tenang, tapi gue sedang enggak butuh minuman beralkohol. Kemudian,
pertama kalinya di hidup gue, gue memesan segelas teh manis panas di El
Bottella.
“Lo Krisna, kan?” Alroy yang semula sibuk di meja kasir kini duduk di
hadapan gue. Dia memandang kepala hingga kaki gue tanpa celah.
“Biasa aja deh, Roy. Gue lagi suntuk banget.” Jawab gue malas. Gue menyeduh
pelan teh manis panas sambil mengingat saat Kikan menyeduhnya saat hujan deras
waktu itu. saat pertama kita ketemu.
“Enggak biasanya aja lo minum teh, apalagi teh panas. Duit lo habis buat
pesen brandy atau cocktail? Lo bisa bayar belakangan.”
“Gue bosen sama semuanya, Roy. Termasuk sama minuman-minuman elo.” Alroy
memandang gue dengan tatapan enggak percaya. Dia meninggalkan gue sebentar
untuk mengambil sepiring tapas dan diletakan diatas meja.
“Mungkin lo butuh hiburan? Atau lo butuh liburan.”
“Gue cuma butuh tenang dan nyaman dengan hidup gue.”
“Gue tahu jawaban atas apa yang lo butuh. Lo Cuma butuh duduk berdua
dengan gadis lo. Menikmati semilir angin berdua.”
“Mungkin elo bener, tapi gue enggak tahu gadis mana yang bakalan gue
pilih buat jadi temen menikmati semilir angin. Gue bingung antara Mara atau
Kikan. Mereka, membuat gue jatuh cinta.”
“Kikan? Gadis manis yan pernah duduk dengan elo di meja tiga? Gue kira
hubungan kalian enggak berlanjut. Lo jarang ajak dia kemari, kan?”
“Iya. Dia bukan tipe gadis yang suka nongkrong seperti Mara. Dia berbeda,
Roy. Gue menemukan yang selama ini enggak gue dapetin dari Mara. Kikan menyuguhkan
kenyamanan, dia mau bukain pintu malem-malem buat gue, nemenin gue ngelembur
sampai subuh, bikini gue sup dan kopi, nganterin makan siang dan kurma ke
kantor, dia seperti rumah buat gue.”
“Bien entiendo, Krisna. Lalu apa yang salah dengan Mara? Sejauh gue
lihat, kalian baik-baik saja.”
“Kami terlalu baik-baik saja, Roy. Dia selalu suka sama apa yang gue
kasih tanpa peduli itu selera dia atau bukan, apalagi dia sekarang ingin kita
cepat-cepat menikah. Lo tahu kan, umur gue masih 25 tahun dan gue sedang
menikmati pekerjaan gue yang seabrek. Gue punya target buat hidup gue. Dan Mara
terus-terusan maksa gue buat datang ke toko perhiasan, ke tempat desainer
kondang langganan dia yang katanya bisa bikin gaun nikah yang bagus, dia… ah,
gue penat Roy. Gue makin enggak nyaman sama Mara. ”
“Elo udah menemukan jawaban atas apa yang elo cari.” Gue memandang
lelaki keturunan Jogja-Spanyol itu bingung. Dia bilang gue udang menemukan apa
yang gue cari? Hah, apa maksudnya…
“Jangan bikin gue bingung. Gue enggak ngerti!”
“Lo cerita tentang Kikan dengan berapi-api, lo seperti menemukan rumah
tempat lo mengadu dan pulang. Disamping itu, elo mulai enggak nyaman sama Mara
yang sepertinya udah habis masanya buat lo cintai. Lo masih enggak ngerti juga?”
Gue Cuma bisa diam memikirkan kata-kata Alroy.
Saat itu juga, terdengar bel pintu El Bottela dibuka. Kikan muncul
dengan wajah bingung dan matanya mulai mengamati satu persatu pengunjung yang
ada di El Bottela. “It’s your home, Krisna.” Kata Alroy sambil menepuk pundak
gue pelan dan berangsur meninggalkan gue sendirian.
Saat sepasang mata bulatnya menemukan gue, Kikan tersenyum hangat
seperti biasanya. Nampak kelegaan yang luar biasa dari raut wajahnya saat
memandang gue.
“Aku tadi ke kantormu, tapi teman-temanmu bilang kamu sudah pulang. Jadi
aku pikir kamu pasti datang kemari.” Kikan memperdengarkan tawanya yang seperti
lonceng, “aku tahu kamu masih punya banyak pekerjaan. Makanya aku sengaja
membuatkan kamu kue jahe dan oh ya, aku tadi mampir membeli vitamin untukmu.”
Kikan menunjukan sebuah tas plastik dan diangsurkan ke gue. Lagi-lagi gue
terpukau dengan caranya menunjukan perhatian.
“Terimakasih Kikan. Gue, ah maksudnya aku mencintaimu.” Kataku mantap. Gue
bisa melihat semburat merah merona di kedua pipinya.
Gue tahu siapa yang bakalan gue pilih, mungkin bakalan menyakiti Mara,
tapi gue memang harus memilih. Gue enggak mau makin lama berbohong sama Mara
dan Kikan. Gue merasa berdosa. Gue harus memutuskan.
Gue mengantar Kikan sampai kerumahnya dan membiarkan motor maticnya
dititipkan di El Bottela dan dari sana, gue langsung menemui Mara di sebuah
apartemen tempatnya tinggal. Mara menyambut gue dengan pelukan yang gue
pastikan bakalan jadi pelukan terakhir gue dan Mara.
“Ada apa?” tanyanya heran. Biasanya kami saling janjian untuk ketemu di
sebuah pub untuk bertemu. Jarang menemui masing-masing di kediaman.
“Ada yang mau gue bilang sama lo, Ra.” Awalnya gue merasa jahat atas
keputusan ini. Gue memilih Kikan yang gue kenal baru empat bulan, dan meninggalkan
Mara yang sudah mengisi hati gue duabelas bulan.
“Ngomong aja, sayang. Oh ya sebelumnya, aku mau nunjukin sesuatu. Lihat deh,
ini majalah fashion terbaru bulan ini, dan ada desain tentang gaun pengantin. Kamu
pilihin dong buat gue, sayang” lagi-lagi dia tidak mendengarkan gue, dia
memilih kepentingannya sendiri.
“Kita enggak akan menikah, Mara. Gue lelah sama hubungan kita. Elo adalah
wanita baik, sementara gue malah bosan dengan kebaikan yang selama ini elo
tawarin ke gue. Gue belum berniat buat menikah dan gue harap, elo bisa mengerti
dengan keputusan gue.” Gue udah siap kalau-kalau sebuah tamparan bakalan
mendarat di pipi gue, namun Mara hanya menitikan setetes air mata dan kemudian
buru-buru menghapusnya.
“Gue paham kok, gue enggak akan maksa elo. Gue tahu elo butuh seseorang
yang pastinya lebih baik dari gue, dan gue tahu elo udah nemuin dia.” Mara
menghela nafas pelan, “gue tahu elo enggak nyaman, tapi gue enggak peduli. But it’s
ok.”
“Gue minta maaf, Mara. Terimakasih buat ngertiin gue.” Gue mengusap
rambutnya pelan lalu melangkah keluar dari apartemennya.
Hati gue lega saat itu. Gue merasa bahwa keputusan yang gue ambil udah
tepat. Yang gue butuhin bukan wanita yang sama-sama glamornya dengan gue, yang
sama-sama suka nongkrong dan minum berduaan sampai larut, tapi yang gue butuhin
adalah wanita yang bisa menenangkan gue, yang ada saat kapanpun dan apapun
keadaan gue, wanita yang udah seperti rumah buat gue. Rumah dimana gue enggak
bakalan bosen buat pulang kesana, Kikan.
apa ini kutipan disalah satu buku? el botella~
BalasHapusbukan sih kak. ini bikin sendiri, dari bahasa Indonesia aku terjemahin ke spanyol pake google terjemahan xD
HapusSaat blogwalking, ngga sengaja nemu blogmu.
BalasHapusaku silent readermu.
Tulisanmu bagus, yang aku tau sih tulus dan jujur.
Mampirlah dan Kritik blog ku : teriakanjahat.blogspot.com