Praha, Tempatku Berlari dan Tempatku Bermuara

                


Kepulan asap dari cangkir keramik yang baru saja diantara seorang pelayan ke mejaku, juga ikut mengantarkan wewangian manis yang amat aku sukai. Coklat panas. Coklat panas tidak pernah berdusta tentang efek yang timbul setelah meminumnya. Hangat, tenang, dan perasaan bahagia akan menjalari seluruh tubuh.
                “Coklat panas lagi, Vy?” sosok Damar tiba-tiba muncul dan kemudian duduk tepat di hadapanku. Ia memanggil seorang pelayan dan memesan secangkir kopi Arabica. Aku kira ia masih menyukai espresso. Bukankah kopi Arabica terkenal pahit?
                “Bagaimana kehidupanmu di Praha? Aku lihat foto-fotomu di Instagram kau sering jalan-jalan. Kau menikmati Praha dengan baik sepertinya.”kata Damar sebelum menyesap kopinya.
                “Praha memang indah. Aku hanya tidak mau menyia-nyiakan waktuku di sana.”
                “Itu benar. Saat kita memiliki kesempatan menikmati dunia luar kita tidak boleh menyia-nyiakannya begitu saja. Suatu saat, kau harus mengajakku kesana.”
                Aku tertawa, “kau bisa mengunjungi Praha kapanpun kamu mau, Damar. Kamu sudah nampak berbeda sekarang, tuan arsitek. Bukankah kariermu gemilang?”
                “Sejauh harapanku. Aku menikmati pekerjaanku.”
                Kemudian kami saling diam. Menikmati cangkir kami masing-masing. Tak lama, Damar mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku kira ia akan mengambil rokok, namun ternyata ia malah mengeluarkan permen karet dan mulai mengunyahnya.
                Ia sadar aku memperhatikan gerak-geriknya dan seperti bisa membaca pikiranku ia berkata, “aku tidak lagi merokok, Ivy. Aku berhenti merokok sejak kamu meninggalkanku ke Praha. Aku merasa bersalah saat ingat kau selalu batuk-batuk saat aku merokok di dekatmu. Itu menyakitkanmu.”
                “Aku senang kamu berubah.” kataku lirih.
                “Ada satu yang tidak akan pernah berubah dariku, Ivy. Satu hal, aku tetap mencintaimu sampai detik ini.”
                Aku hanya diam dan menundukan kepala. Entah, aku harus percaya atau tidak dengan kata-katanya. Aku pernah tersakiti.
                “Aku ingin berubah agar kamu kembali percaya, Ivy. Aku hanya mencintaimu. Karierku, semua perubahanku ini aku lakukan demi kamu. Kamu kan yang selalu bilang kalau aku harus berhasil menjadi arsitek? Aku membuktikannya padamu sekarang.”
                “Kamu berbohong, Damar. Sama seperti 5 tahun lalu. Aku… sudah sulit percaya.”
                “Tatap mataku, apa ada kepura-puraan dimataku? Aku mencintaimu.”
                Obrolan menyedihkan kami terputus karena handphone Damar bordering sangat keras. Ia memandang sekilas handphonennya dan mematikannya.
                “Kenapa tidak diangkat?” selidikku.
                “Dari kantor. Aku sudah izin untuk pergi saat jam makan siang sampai waktu kerja habis, tapi sepertinya mereka tidak pengertian.”
                “Pekerjaanmu lebih penting, Damar. Aku bisa cari hotel sendiri.”
                “Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian!” ia menggegam tanganku erat hingga rasanya pergelangan tanganku sakit.
                “Damar lepaskan, kamu terlalu erat menggenggam tanganku. Ini menyakitkan.”
                Ia buru-buru melepaskan tangannya dan berkata, “aku minta maaf”
                Kami saling diam lagi. Aku pura-pura sibuk membaca buku menu yang disediakan, sementara Damar memandangku lekat-lekat.
                “Damar? Sedang apa kamu disini, sayang?” Aku mengalihkan pandangan kearah seorang wanita yang kini berdiri di depan meja kami. Aku mengenali wanita ini, dia Prista. Perebut Damar dariku.
                Damar bangkit menghujam wanita itu dengan tatapan membunuh. “harusnya aku yang tanya, kamu sedang apa disini?”
                “Apa kamu lupa? Hari ini Mr. Giovanni akan kembali dari Beijing dan aku menjemputnya di Bandara.” Ah, ternyata Damar dan Prista satu tempat pekerjaan. Aku merasa berada di tempat yang salah, dan aku harus pergi.
                “Maaf, sepertinya aku mengganggu. Damar terimakasih atas waktunya, aku harus segera cari  hotel . Sekali lagi terimakasih.” Aku meletakkan selembar uang di meja untuk membayar coklat panas sekalian kopi Arabica milik Damar dan bergegas pergi.
                Dari kejauhan aku bisa mendengar Damar meneriaki namaku. Namun aku berusaha tidak peduli dan masuk kedalam sebuah taksi.
                                                                                                ***
                Aku menyewa sebuah kamar disalah satu hotel berbintang dekat sebuah Mall. Niatnya agar aku bisa ikut larut dalam keramaian yang ditawarkan. Tapi ternyata aku salah, seharian aku hanya murung di dalam kamar, meratapi kesedihan yang sama seperti 5 tahun lalu. Aku terlalu bodoh… Damar tidak pernah benar-benar mencintaiku.
                Ah, harusnya aku menolak saat ia menawarkan menjemputku di bandara dan akan membantuku mencari hotel untuk menginap selama seminggu aku di Indonesia. Aku menyesali kebodohanku sendiri.
                Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Entah siapa yang datang, yang pasti itu bukan keluargaku. Mereka tidak tahu aku pulang ke Indonesia. Dan aku harap itu bukan Damar.
                Tapi dugaanku keliru, Damar kini berdiri dihadapanku. Pakaiannya rapi ala orang kantoran. Dan terkutuknya aku, aku terpesona padanya entah untuk keberapa kalinya dihidupku.
                “Maaf dammar, aku sibuk. Aku tidak punya waktu untuk…”
                Ia memotong cepat kata-kataku, “Ivy dengarkan aku dulu. Wanita itu memang satu kantor denganku, tapi kita sudah putus sejak kamu mengetahui hubungan gelap itu. Aku mohon, mengertilah.”
                “Aku tidak lagi peduli dengan siapa kamu sekarang, Damar. Nyatanya dia masih memanggilmu sayang, kan? Aku rasa, kamu tidak perlu repot-repot datang ke hotel untuk menemuiku dan menjelaskan semuanya. Aku tidak peduli.”
                “Ivy… aku akan buktikan kalau aku hanya mencintaimu. Percayalah.” Ia mengulurkan sebuket mawar merah padaku, dan kemudian berbalik pergi
                                                                                                ***
                Setelah 3 hari berdiam diri di dalam kamar hotel tanpa pergi kemanapun, aku memutuskan kembali ke Praha lebih awal. Aku sudah tidak sanggup berlama-lama lagi di Indonesia dan terkubur bersama jutaan kenangan dengan Damar.
                Setelah menempuh perjalanan hampir 18 jam dengan pesawat, aku memilih untuk mampir ke sebuah restoran dan memesan Czech yang berupa beef goulash soup dan bebek panggang saus, red cabbage serta kentang kukus untuk mengganjal perut. Entah kenapa aku enggan sekali segera kembali ke rumah. Selesainya menghabiskan makan malamku, aku mampir ke Charles Bridge. Menikmati alunan musik yang dijajakan para pemusik jalanan.
                Dulu… aku dan Damar pernah bercita-cita mengunjungi Praha berdua. Menikmati arsitektur batu Praha berdua dan berniat foto pra-wedding di jembatan ini. Tapi semua sudah berlalu. Semua sudah benar-benar hilang. Aku menyerah, aku melepaskan dia.
                Angin malam di Praha berhembus pelan. Samar-samar aku seperti mendengar suara baritone milik Damar. Tapi, ini Praha dan bukan Indonesia. Damar tidak akan kemari hanya untukku.
                “Ivy…” Astaga! Lagi-lagi aku mengigau suara Damar memanggil pelan namaku. Lalu aku merasakan pundakku disentuh dan… Itu memang Damar.
                “Aku menunggumu seharian di rumahmu. Aku tahu kamu akan pulang ke Praha hari ini.” ujarnya masih memegang tanganku lembut.
                “Kenapa kamu tidak pernah membiarkan aku hidup tenang, Damar? Aku sudah merelakan kamu dengan wanita itu. Aku mohon, jangan datang lagi.”
                “Aku sudah katakana, aku akan buktikan kalau aku hanya mencintaimu. Aku meninggalkan pekerjaanku hanya untuk kamu. Aku datang bersama mereka.” Damar menunjuk sepasang lelaki dan perempuan paruh baya yang amat aku kenali. Mereka adalah kedua orangtua Damar. “aku akan melamarmu, Ivy. Aku menepati janjiku…”
                                                                                                ***
                Satu bulan kemudian…
                Aku dan Damar duduk berdua di sebuah restoran kecil di pinggiran jembatan Charles. Kami baru saja menggelar foto sebelum menikah. Impian kami…
                “Aku bahagia sekali hari ini.” ungkap Damar sambil menatap lurus mataku.
                “Akupun juga begitu. Aku tidak percaya semuanya akan jadi nyata, mimpi-mimpi kita. Semuanya, Damar.”
                “Percayalah, Ivy. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dengan meninggalkanmu. Aku sudah cukup menyesal dengan kehilanganmu selama 5 tahun. Itu benar-benar menyiksaku.”
                “Aku percaya…”
                Damar mencium keningku pelan dan melingkarkan tangannya di punggungku. Ah, cinta. Tidak ada yang tahu kemana semuanya akan bermuara. Praha adalah pelarianku akan Damar dan Praha pula yang menyatukan kami kembali.
              


Komentar

Postingan Populer