Traveller Modal Nekat!


Kegilaan dan kenekatan ini berawal dari ide ‘cerdas’ yang tiba-tiba muncul disela-sela materi UN yang berjubel di otakku yang mulai kelelahan. Saat itu, saat aku dan sahabat 12 tahun dan semoga selamanya (re: Lajeng) sedang duduk santai di depan teras rumahku. Lalu ide itu keluar begitu saja. Ide itu adalah ‘Keliling Malioboro dengan budget Rp 100.000,-.’ Mungkin banyak yang berpikiran, hari gini uang seratus ribu bisa buat apa? Nyatanya kami bisa dapat banyak hal di Malioboro! 

Sebelum memulai petualangan a la kadarnya ini, kita yang udah kaya pasangan lesbi menikmati hujan berdua yang lagi-lagi di depan teras rumahku bersama secangkir teh panas manis di tangan masing-masing. Kami mulai menyusun strategi biar seratus ribu rupiah kita itu bisa buat pulang pergi, makan, jajan, dan belanja. Si Lajeng kasih ide uang seratus ribu itu harus kita dapetin dari hasil jeripayah kita sendiri. Maksudnya, hasil kirim cerpen atau nguli kek gitu  (?)  Alhamdulillah, dua cerpen aku bisa masuk Kedaulatan Rakyat. Tapi, aku yang memiliki tingkat ingat yang parah, menghabiskan uang dua ratus ribu itu sebelum hari-H. Sudah, jangan dibahas.

Saat H+1 setelah UN, kami nekat ke Malioboro naik kereta Prameks. Cuma dengan Rp 8000,-. dan perjalanan 30 menit dari Stasiun Wates tercinta, kita sampailah di Stasiun Tugu. Dari Stasiun Tugu, kita cuma perlu jalan kaki kurang lebih ya 10 menit dan udah bisa menginjakkan kaki dan sujud syukur di sana. Heleh…
Nge-foto tiket biar jadi anak Hitz.

welcome to Jogjakarta!


 Kemudian, kita mulai meributkan alat transportasi apa yang bakalan kita pakai untuk mencapai tujuan pertama ‘Benteng Vredeburg’. Sebenernya aku udah pernah kesana, tapi karena dalam rangka membahagiakan Lajeng, aku setuju aja kesana lagi. Setelah berdebat antara delman atau becak, akhirnya aku menyerah sama Lajeng dengan harga becak motor Rp 10.000,-.


Dedek Lajeng tampak belakang :3
Vredeburg emang gak ada matinya. Kenapa? Karena dengan tiket masuk seharga Rp 2000,-. aja kita bisa mendapatkan lebih daripada apa yang kita harapkan. Pelajaran sejarah, tempat yang nyaman, pemandangan yang keren, petugas benteng yang ramah, lihat patung-patung penjajah dan patung para tentara pemberani pembela Negara, apa lagi yang kurang? Bisa foto-foto ala vintage di bangunan kunonya, bisa ngeliatan semua bangunan yang ada di benteng Vredeburg walau memang kita perlu melawan panasnya matahari. 
Ini dia 'Benteng Vredeburg'
Ada air menari juga di pelataran Benteng Vredeburg
Hallo!

Lajeng a la model kalender :D
Setelah kelelahan dan kelaparan, kita terpaksa meninggalkan benteng Vredeburg jalan kaki ke malioboro demi sesuap nasi (?) atau lebih tepatnya semangkuk soto ayam (karena Lajeng gak doyan sapi). Letaknya ada di parkiran mobil luar Ramai Mall. Menikmati semangkuk soto ayam, segelas es teh, dan 3 potong mendoan cukup dibayar tunai dengan nominal Rp 9.500,-. KURANG MURAH APA COBA?

Setelah kenyang makan soto, kita melanjutkan perjalan kita menjamah setiap sudut malioboro. Aku lupa kita kemana aja, pastinya kita mampir ke “Pasar Seni Nadzar” cuma buat lihat-lihat dan nyobain blankon. 
Cuma nyobain aja sih, soalnya gak bawa budget berlebih :')


Terus kita mampir ke Malioboro Mall. Kita ke Gramedia walaupun rasanya sungguh susah menahan nafsu memburu (Gak cuma GGs aja yang suka ‘berburu’) dan pura-pura tuli sekaligus buta atas lambaian tangan dan teriakan novel-novel best seller yang terpampang tjakep minta di beli dan diajakin pulang ke rumah. Ah sudahlah :’) Karena uang di domept tidak sanggup untuk membeli sebuah bukupun di Gramedia, kita memutuskan buat makan ice cream di McDonald. Pesen dua gelas ice cream McFlurry dan kita nikmatin ala remaja kota jogja, duduk di deket jendela biar semuanya pada tahu, kita lagi di McDonald! Apabanget~

Biar nge-Hitz foto makanan dulu~

Kita kurang so sweet apa bang? :')

Oh iya, hampir lupa, dalam kesepakatan kita itu, kita harus beli oleh-oleh yang di beli di malioboro dengan nominal uang sebesar… Rp 30.000,-. Aku dapet apa? Banyak! Bermodal tawar menawar yang diturunkan langsung dari Mama, aku bisa beli 6 gelang ikat biar kembaran sama Lajeng, satu gantungan kunci yang dibuat dari kayu bentuknya kereta api uap, itu buat adek aku namanya Elang dan semua itu cukup dibayar dengan Rp 15.000,-. Padahal aslinya kalau gak nawar bisa Rp 25.000,-. Seiring berjalannya waktu, Lajeng beli 2 dream catcher seharga Rp 25.000,-. kalau gak salah. Lupa~ warnanya coklat sama hitam. Bagus sih. Tapi, karena dia terlalu terburu-buru, dia gak sadar bahwa jalan malioboro itu panjang dan yang jualan dream catcher itu banyak! Aku ketemu penjual aksesories sekaligus dream catcher yang lebih keren daripada yang Lajeng beli *ketawa jahat* dan warnanya tosca. Lajeng kelihatan sangat menyesal. Sebagai sahabat yang baik, tidak sombong dan tidak bisa menabung, aku kasihin 3 gelang ikat dan dream catcher yang aku beli itu buat Lajeng. Dan sebagai gantinya, Lajeng kasih aku satu dream catchernya yang warna coklat buat aku dan sebuah kartus pos yang salahnya dia beli di Mall. Itu melanggar peraturan kita! 
Jangan dilihat mukanya! tapi tolong lihat apa yang dibawa, di meja dan dipakai! McFlurry, Gelang ikat biru dan hitam, Dream Catcher dan kartu pos hasil berburu di Malioboro.


Karena takut kehabisan tiket kereta buat pulang ke Wates, kita ke stasiun 1 jam sebelum tiket dijual. Kemudian kita ngegembel duduk selonjor di depan loket bersama para pemburu tiket lainnya. Gak perlu diceritain deh susahnya dapet tiket ini. On time banget! Jam 14.25 ya pokoknya dibuka jam segitu! Kita sampe 3x antri. Kita kurang sabar apa, Bang?

Karena kereta Prameks yang membawa kita balik ke Wates masih 3 jam lagi, kita memutuskan untuk menyambangi sebuah tempat yang mungkin gak banyak orang tahu ada sebuah perpustakaan keren di sepanjang malioboro. Eh, mungkin lebih tepatnya bukan perpustakaan sih, tapi kaya tempat nyimpen arsip gitu. Tapi begitu masuk ke Jogja Library Center, aku udah jatuh cinta sama tempat ini. Tempat ini menawarkan sesuatu yang berbeda di Malioboro. Tenang, kesannya berbeda sama Malioboro yang ramai sama para penjual dan pembeli, tukang becak, serta pak kusir yang siap menawarkan jasa mereka. Fasilitasnya beuh… jempolan! Ada yang buat ngecharge handphone lengkap dengan chargenya, free wifi, Tv yang saat itu lagi nayangin drama korea, tempat baca yang nyaman, dan gak lupa petugasnya yang ramah. Ada juga Kyoto Book Corner yang isinya kaya buku-buku bahasa Jepang gitu deh. Sayangnya, kita datang ke Jogja Library Center itu udah sore, jadi gak bisa lama-lama di sana. 



Kumpulan arsip yang ada di Jogja Library Center. Rapi sekali!
ini di Jogja Library Book Center lho, Bukan di Jepang :D


Kita terpaksa kembali ke Stasiun Tugu dan duduk-duduk cantik sambil menikmati mendoan seharga Rp 11.000,-. Dan kami membicarakan masa depan. Masa depan kami pengen menginjakan kaki di Britania Raya bersama kelak para suami kami.
Nggak kerasa, kereta Prameks yang akan membawa kami pulang datang. Kami kembali berjubelan bersama penumpang lain untuk bisa dapet tempat ‘berdiri’ di dalam gerbong. Dari pengalaman aku dan Lajeng ini, gak ada sedikitpun keinginan untuk pamer atau apapun itu. Ini bukan soal berapa banyak uang yang kita punya, tapi bagaimana caranya dengan apa yang kita punya bisa lebih membawa banyak kesan dan pengalaman. Kita cuma mau menunjukan bahwa uang seratus ribu itu udah bisa membawa kita mendapatkan banyak pengalaman, pembelajaran, menorehkan cerita dan bahkan membentuk rencana baru lagi yang lebih luar biasa. Jangan takut piknik, nanti kamu panik! J

#NB : Pesan ini untukmu yang katanya sudah menjamah setiap sudut Malioboro. Malioboro tak selalu soal belanja, Malioboro tak selalu tentang kaos batik, daster batik, atau bahkan sandal batik. Malioboro juga bercerita tentang kisah, yang jika kamu tidak memulai mencari  kamu tidak akan menemukan di mana oranglain sudah lebih dulu memulai kisahnya. 


Komentar

  1. EH, ADA JURAGAN DELMAN TUH (?))
    Wkwk
    Ajib banget endingnya meenn :))

    BalasHapus
  2. aku juga sering banget ke malioboro kalo pulang kampung, kurang afdol kalo ke jogja ga berkunjung ke malioboro,
    nice post bytheway.


    http://litarachman.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak :D
      ibaratnya ke Jogja tanpa ke Malioboro itu kaya makan gudeg tanpa gudegnya (?)

      Hapus
  3. Kalimat terakhirnya kok keren banget ya btw.

    Malioboro juga bercerita tentang kisah, yang jika kamu tidak memulai mencari kamu tidak akan menemukan di mana oranglain sudah lebih dulu memulai kisahnya.

    Udah lama nggak ke Jogja padahal deket :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Kak ;)
      Kalau kita tidak sisipkan Jogja beserta Malioboronya agenda di jadwal yang padat, kapan lagi kita bisa memulai kisah kita sendiri? :D

      Hapus
  4. wih, gaul....
    gue jadi pingin lebih menghayati malioboro.
    seumur-umur ke situ, cuma belanja doang. padahal kan malioboro bukan melulu tentang belanja ya :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Kak :D
      Nah, iya Kak. Kalau besok-besok bertandang ke Malioboro lagi, jangan lupa explore Malioboro sampai ke hatinya ;)

      Hapus
  5. Terimakasih Kak :D
    Selama ini memang Malioboro terkenal sebagai pusatnya belanja di Jogja sih. tapi kalau kita lebih mendalaminya, Malioboro lebih dari sekedar belanja saja. Seperti Jogja Library Center itu, Benteng Vredeburg juga. Mari sentuh Malioboro lebih dalam lagi, Kak :)

    BalasHapus
  6. keren sist! itu kek di jepang fotonya xD

    BalasHapus
  7. Mwehehehe xD
    Padahal cuman di Malioboro lho

    BalasHapus
  8. Buku! Jejepangan! Ah, mau, mau, mau!

    BalasHapus
  9. Malioboro hampir tiap minggu / bulan mbak, sampe bosen hehe

    Salam kenal ya #blogwalking, ditunggu kunjungan baliknya :)
    http://dsukmana.wordpress.com
    http://soloinfoID.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer