Pada Sebuah 'Nama' yang Selalu Aku Rapalkan dalam Doa
Kadang aku selalu bertanya kala matahari menyamarkan kabarmu,
sedang apa?
dengan siapa kamu menghabiskan malam?
bagaimana caramu bahagia... tanpa aku?
Banyak kata yang tak terucapkan kala kita bertemu dalam tatap. Banyak kata yang tak tertuliskan saat pesan demi pesan saling kita kirimkan. Sebuah kalimat yang dengan orang lain begitu mudah aku ucap, namun denganmu semua rasanyanya tak pernah lagi sama. Demi Tuhan, aku menyimpan rasa.
Pada lantai kamar yang dingin dengan kedua tangan yang tak pernah lelah menengadah untuk harap demi harap.
Pada langit-langit putih dengan bibir yang senantiasa tak pernah lelah mengucapkan apapun demi segala kebaikanmu.
Pada selembar kain dengan sepsangan mata yang kadang tak luput mengalir sebuah bulir bening.
Untuk Sebuah Zat yang membuatku jatuh dan kemudian bangkit lagi pada segala keadaan yang ditetapkan-Nya,
Gusti, sekali lagi aku menghadap untuk sebuah pengharapan. Ku harap Engkau tak lelah mendengar sebuah nama yang selalu sama dalam tiap pintaku.
Aku tidak meminta-Mu menyandingkan aku dengan dia. Cukuplah jaga ia, Gusti.
Permudah langkah dan percepat studinya, agar cepat ia berada di pintu suksesnya.
Bayarlah tiap titik keringat yang kemudian mengering di dahinya.
Gusti...
Bukankah ia lelaki yang baik? Mengapa tak coba dekatkan kami?
Apa karena aku yang tak kunjung memperbaiki diri?
Atau memang kami dipertemukan hanya sebatas saling tatap?
Tak apa, setidaknya aku memperjuangkan dia.
Meski dalam doa.
Jujur, aku selalu merindukan saat jemari kami saling bertautan. Saat mataku dan matanya bertemu malu-malu. Saat tawa kami berderai bersama.
Kini aku sadar kalau rasa nyamanku, berbuah pada cinta.
Pada dia yang namanya selalu aku sebut dalam doa.
Gusti, tolong sampaikan padanya...
apabila rasaku ini terkalahkan oleh rasanya pada wanita lain, pada rasa kagumnya pada wanita lain
aku tak akan lelah berdoa pada-Mu.
tidak akan kunjung lelah mengkhawatirkan dia kala matahari sekalipun bulan menyembunyikannya dari pandangku.
tak kunjung lelah memperjuangkan dia dalam diamku.
Sampai mungkin pada akhirnya, lelahku sampai pada ujungnya. Atau mungkin kala dia menemukan bahagianya dan bukan aku.
Disaat itulah aku menutup bukuku untuknya. Lalu mulai menerima sebuah nama yang Tuhan tawarkan padaku.
Yang semoga saja mendoakan aku seperti aku pernah mendoakanmu...
Komentar
Posting Komentar