Kedaulatan Rakyat, Kamis 15 Januari 2015
Ini adalah sebuah impian jadi nyata buat aku. Menorehkan nama di sebuah surat kabar dengan namaku tercetak besar-besar di sana. Tanggal 15 Januari 2015, saat itu matahari tertutupi mendung disertai hujan yang turun dengan derasnya. Aku masih setia berada di hall sekolah menunggu hujan reda. Tiba-tiba ada seorang guru menghampiriku dan berkata
"Mbak Dyar, selamat ya cerpennya masuk koran." kata beliau. Aku yang diajak bicara hanya terbungkam tidak tau harus bagaimana.
"Ah yang bener, Bu.. Saya malah gak tau." kataku.
Guru geografiku itu terus meyakinkanku. Aku masih diam terpaku membiarkan teman-teman meneriaki keberhasilanku.
Tak lama hujan reda diiringi kabar gembira itu. aku buru-buru pulang, mandi dan pergi keluar rumah untuk mencari koran Kedaulatan Rakyat. Benar saja, ada namaku tercetak tebal di bawah sebuah judul Cerpen.
Dan inilah cerpen yang membawa namaku masuk ke sebuah surat kabar :
"Mbak Dyar, selamat ya cerpennya masuk koran." kata beliau. Aku yang diajak bicara hanya terbungkam tidak tau harus bagaimana.
"Ah yang bener, Bu.. Saya malah gak tau." kataku.
Guru geografiku itu terus meyakinkanku. Aku masih diam terpaku membiarkan teman-teman meneriaki keberhasilanku.
Tak lama hujan reda diiringi kabar gembira itu. aku buru-buru pulang, mandi dan pergi keluar rumah untuk mencari koran Kedaulatan Rakyat. Benar saja, ada namaku tercetak tebal di bawah sebuah judul Cerpen.
Dan inilah cerpen yang membawa namaku masuk ke sebuah surat kabar :
Dia Ibuku~
Aku sudah cukup tersiksa dengan sinar matahari yang seenaknya saja masuk
melalui jendela-jendela kecil kamarku. Sekarang, pikiran itu kembali datang
menyiksaku. Hari itu akan datang menghampiriku besok, saat-saat yang akan
membuatku malu setengah mati di depan teman-teman sekelasku.
Suara
itu lagi… desahku. Aku mulai tak nyaman dengan suara tongkat jalan punya
Ibu. Lama-lama aku bisa gila mendengar suara ketukan berirama itu. Kenapa
Tuhan? Kenapa Ibuku tidak seperti Ibu-ibu lainnya?
“Dian?
Apa kamu belum bangun, Nak?” suara pelan Ibu yang menurutku lebih seperti
rintihan kini berada persis di depan pintu kamarku.
“Sudah,
Bu. Dian sedang pakai seragam.” Sahutku dengan enggan.
“Kalau
sudah selesai, Ibu tunggu kamu buat sarapan ya, Nak.” Suara ketukan itu menjauh
menuju meja makan yang sekaligus menjadi ruang Tv.
Aku
mengambil tas coklat bututku lalu menghampiri Ibu yang sudah duduk manis di
meja makan. Senyumnya tak pernah hilang dari pandanganku. Ibuku itu cantik, hidungku
yang mancung ini adalah warisannya, tapi sayangnya… Ibuku seorang tuna netra.
“Makan
yang kenyang, Nak. Ibu sudah siapkan bekal.” Kata Ibu sambil menggenggam tangan
kiriku, lalu sesekali membelai pipiku atau mungkin lebih tepatnya meraba.
Aku berusaha mengelak dengan memakan sarapanku cepat-cepat, lalu segera kabur
ke sekolah.
***
“Dian!”
aku terlonjak kaget mendengar suara cempreng Gina yang tiba-tiba mengagetkanku
dari belakang. Aku menoleh padanya dan pura-pura memasang wajah masam.
“Mau
marah?” Gina malah mencubit pipiku gemas lalu tertawa, dan itu juga membuatku
terawa. “ayo ke kantin! Aku traktir puding coklat hari ini!” Dengan mudahnya
Gina menggeretku ke kantin. Jujur, aku iri padanya. Dia cantik dan keluarganya
kaya raya.
“Terimakasih.”
Ucapku sambil menerima sepiring puding coklat.
“Sama-sama,
Dian sayang. Oh ya, apa kamu sudah memberikan surat penerimaan rapot itu untuk
orang tuamu?” pertanyaan Gina yang secara tiba-tiba itu membuatku menelan
puding coklat ini bulat-bula tanpa mengunyahnya. Aku hanya mengangguk, padahal
aku masih ingat sekali, surat untuk wali murid itu untuk 2 hari lagi dan surat
itu masih terselip manis di buku pelajaran matematikaku. Jujur, aku malu jika
Ibuku yang buta harus mewakiliku mengambil rapot.
Dulu,
aku punya seorang Ayah yang selalu mengambilkan rapotku, namun semenjak Ayah
meninggal karena kecelakaan kerja, Ibu menggantikan semua tugas Ayah. Bekerja
sebagai guru ngaji, bekerja sebagai tukang pijat untuk Ibu-ibu, semua di
lakukannya untuk kehidupan kami berdua. Dan teman-teman SD-SMPku mulai banyak
mengejek dan menjauhiku karena Ibuku seorang tuna netra. Aku tidak mau hal itu
terulang lagi.
“Dian
enak ya masih punya Ibu yang perhatian sekali sama Dian. Aku tidak tahu siapa
yang akan mengambil rapotku esok Sabtu. Papa sibuk dengan pekerjaannya dan kamu
tahu sendirilah, Mama sudah tidak peduli lagi padaku. Dia sedang bahagia dengan
keluarga barunya. Andai Mamaku seperti Ibunya Dian, selalu membawakan Dian
bekal makan siang. Itu menyenangkan sekali.”
“Tidak
semenyenangkan itu, Gina. Hidupmu lebih baik, kamu punya segalanya yang kamu
butuhkan. Kamu punya handphone canggih, selalu diantar-jemput mobil. Kamu
enggak perlu susah seperti aku.”
“Nyatanya
aku tidak pernah sebahagia kamu. Uang tidak bisa membeli perhatian Papa dan
Mamaku. Kamu tahu? Banyak sekali di luar sana orang-orang kaya yang sukses
dengan pekerjaan mereka, tapi mereka tidak bahagia. Karena apa? Karena tidak
ada kasih sayang orang tua. Mereka rela menyerahkan semua kekayaannya demi
sepasang Mama dan Papa. Begitu juga aku. Aku akan bangga sekali punya orang tua
seperti Ibumu, Dian.”
Kata-kata
Gina seolah menusukku dalam-dalam, tepat di hatiku. Gina benar, harusnya aku
bersyukur. Harusnya aku bangga dengan Ibuku. Dia memang seorang tuna netra,
tapi dia tidak pernah sekalipun mencoba menggantungkan hidup kami pada orang
lain. Ibu yang bekerja keras mengurusi semua keperluanku, dan aku tidak pernah
sekalipun mencoba membantunya. Aku bisa hidup juga berkat Ibu…
***
Aku
menggenggam tangan Ibu erat-erat dan membantunya menyusuri sekolahku yang luas
untuk membantunya menemui kelasku yang letaknya paling ujung. Dan apa yang aku
temui sepanjang perjalananku bersama Ibu di sekolah? Teman-temanku tersenyum
dan seolah mengatakan bahwa mereka senang melihat keakrabanku bersama Ibu.
Tidak terdengar olok-olokan seperti saat aku SD dan SMP. Aku bertambah bangga
melihat Ibuku yang tak pernah sekalipun menyembunyikan senyumnya. Dia terus
tersenyum seolah-olah ia bisa melihat teman-temanku tersenyum padanya.
Dan
dengan bangga aku mengatakan pada mereka, “Ini adalah Ibuku.”
Keren, Tonks :)
BalasHapusMwihihi :D terimakasih lucin
HapusCerpen yang sederhana. Namun pekat dengan karakter ibu yang kuat. Keren ini, sampe di publish di Koran. Selamat, ya.
BalasHapusSemangat terus, nulisnya. :)